Tinggal beberapa hari di desa-desa lereng Sorik Merapi, Mandailing Natal aku seperti dikembalikan pada masa kecil. Desa yang permai, dengan gemericik air mengalir dan sawah menghampar luas. Orang-orangnya yang sangat ramah, menyediakan tempat menginap dan makan dengan sangat tulus. Tetapi, menyelami kehidupan warga desa lebih jauh, aku merasakan nafas kekalahan yang menghimpit mereka.
Dan menulis tentang desa, berarti menulis tentang kekalahan. Kekalahan negara dalam melindungi rakyat dari hisapan kapitalisme, dan kekalahanku secara personal yang membuatku meninggalkan kehidupan desa yang permai.Inilah yang menjadi dasar dari dua tulisanku di Kompas (22/5/2005)
Tulisan ke 1:
DESAKU YANG PERMAI, DESAKU YANG KUTINGGALKAN
HUTA Baringin pagi hari adalah aroma pegunungan yang dingin. Desa
di lereng Gunung Sorik Merapi-gunung berapi di Mandailing Natal,
Sumatera Utara-itu sudah menggeliat sejak pukul 06.00.
ANAK-anak mandi di pancuran dan perempuan memasak di dapur.
Sedangkan para lelaki markombur-bahasa Mandailing yang berarti
ngobrol-di kedai kopi sebelum kemudian menuju ke sawah atau ladang.
Di sebuah rumah panggung dari kayu beratap ijuk, Zulkarnain
Nasution (23) baru saja terbangun ketika ibunya sibuk menyiapkan
sarapan pagi. Aroma ikan asin bercampur harum nasi yang mengepul
tercium dari dapur yang tak jauh dari tempat Zulkarnain tidur.
Menunggu masakan siap, Zul, demikian dia dipanggil, mandi di
permandian air panas alami di perbatasan desa. Dingin udara pagi itu
terusir hangatnya air panas yang selalu mengepulkan asap. Air panas
alami adalah berkah alam yang banyak ditemui di desa-desa di lereng
Sorik Merapi.
Setelah sarapan, Zul bergegas merapikan diri. "Hari Minggu
saatnya pacaran ke kota," kata Zul setengah berbisik. Zul mengaku
masih jengah berduaan dengan pacarnya di desa mereka sendiri.
Pada masa lalu, kegiatan berpacaran antara muda dan mudi dalam
masyarakat Mandailing sama sekali tak boleh dilakukan secara terbuka.
Jika dua orang muda yang dimabuk asmara hendak berkomunikasi,
biasanya mereka menggunakan bahasa daun-daunan atau hata bulung-
bullung.
Secara bergiliran muda-mudi tersebut akan mengunjungi tempat
rahasia yang sudah disepakati berdua untuk melihat "surat cinta" yang
terdiri dari daun-daunan. Kalau, misalnya, daun hadungdung bersama-
sama dengan daun sitata, daun sitarak, daun sitanggis, dan daun podom-
podom dikirimkan seorang pemuda, sang kekasih akan mengerti bahwa
sang pemuda mengatakan, "Dung hita marsarak jolo tangis au anso
modom." Artinya, "Setelah kita berpisah, menangis saya dahulu baru
bisa tertidur."
Dan jika hasrat untuk bercakap-cakap secara langsung kian
menggelora, mereka akan melakukannya dengan cara yang disebut
markusip (berbisik). Markusip dilakukan pada waktu tengah malam agar
tidak diketahui orang lain. Dalam hal ini, pemuda dengan cara
sembunyi-sembunyi mendatangi rumah tempat kekasihnya tidur. Untuk
membangunkan sang kekasih, biasanya pemuda mengetuk dinding kamar
gadis atau memanggilnya secara perlahan-lahan untuk memberi tahu
bahwa dia sudah datang.
Kadang-kadang untuk memberi tahu kehadirannya, sang pemuda
membunyikan alat musik tiup dari bambu yang dinamakan tulila yang
suaranya sangat lembut. Bila sang gadis sudah mengetahui kehadiran
kekasihnya di balik dinding atau di kolong rumah, mulailah mereka
berdialog secara berbisik-bisik, diselingi pantun percintaan yang
romantis.
***
BAGI Zul yang telah mengecap gaya hidup kota, tradisi
berkomunikasi dengan daun-daunan atau ber-markusip adalah masa
lalu. "Kami hanya mendengar cerita tentang hata bulung-bullung dan
markusip. Sekarang tidak ada lagi yang melakukannya. Paling-paling
kami pacaran secara sembunyi-sembunyi di luar desa," katanya.
Seharian jalan-jalan di kota, Zul pulang ke desa menjelang senja.
Dia kemudian ke kedai untuk markombur sambil menikmati kopi panas. Di
kedai, Zul lebih banyak diam. Dia kesulitan mengikuti tema obrolan
pengunjung kedai yang rata-rata orang tua.
Zul adalah sedikit dari pemuda desa yang bertahan di Huta
Baringin. Dia sebenarnya ingin merantau. Tetapi, kedua orangtuanya
yang telah renta melarang. Alasannya, Zul satu- satunya anak yang
tinggal di desa karena keempat kakaknya telah pergi merantau.
"Di desa sebenarnya enak. Mau mandi air panas gratis. Hasil panen
masih cukup untuk dimakan sendiri. Tetapi, yang bikin stres, saya
merasa tidak bisa berbuat banyak dan tidak punya uang. Apa gunanya
sekolah jika tiap hari kerjanya hanya bergelut dengan lumpur sawah,"
kata pemuda yang pernah merasakan hidup di kota ketika duduk di
sekolah menengah atas. Zul juga sempat setahun menjadi mahasiswa
sebelum putus di tengah jalan karena tak ada biaya.
Bagi Zul dan sebagian besar pemuda desa di lereng Sorik Merapi,
semua tawaran kenyamanan di desa tak lagi mampu menambatkan hati
untuk tetap berada di sana. Hanya satu-dua pemuda yang masih bertahan
di desa.
Kondisi sama juga terjadi di desa tetangganya, yaitu Sibanggor
Julu. Seperti Huta Baringin, desa ini pun loyo kekurangan tenaga muda
untuk mengolah tanah-tanah subur.
Basaruddin Nasution, Ketua Kelompok Tani Suka Mulia, Sibanggor
Julu, mengatakan, sawahnya seluas setengah hektar dan kebun kopinya
seluas satu hektar kini terbengkalai. Basaruddin sudah mulai menua.
Tangan dan kakinya tak lagi lincah mengolah tanah. Tetapi, putra
tunggalnya memilih berwiraswasta di Bogor, Jawa Barat.
"Saya, tidak bisa melarang anak saya pergi. Saya juga pernah muda
dan merasakan dorongan kuat untuk merantau. Dan, untuk apa sekolah
tinggi-tinggi kalau akhirnya kembali di desa. Di sini tidak ada
pekerjaan untuk orang sekolahan," kata Basaruddin, mengomentari
kepergian anaknya yang tamatan SMEA.
Menurut Basaruddin, tak ada seorang anak muda pun yang sejak
semula bercita-cita menjadi petani di desa. Saat umur dirasa cukup,
yaitu menginjak usia belasan tahun, anak-anak muda akan pergi ke
merantau.
Gambaran tentang tiadanya tenaga-tenaga muda sangat terasa ketika
malam itu gordang sembilan, alat musik perkusi tradisional Mandailing
yang terdiri dari sembilan gordang (kendang) dengan gordang terbesar
sepanjang sekitar dua meter, dimainkan di Sibanggor Julu. Hampir
semua pemain gordang malam itu adalah orang tua.
Dalam dingin malam, suara televisi memecah sunyi, bersahut dengan
celoteh pengunjung kedai. Namun, dominasi kedai sebagai pusat
kegiatan pecah saat selepas isya. Dari ruang terbuka di seberang
kedai terdengar suara tabuhan yang mengentak.
Malam teramat dingin. Gerimis menambah dingin. Tetapi, empat
lelaki desa tak hirau. Mereka selempangkan sarung dan lengan baju
disingsingkan. Lelaki yang tak muda lagi itu memanaskan malam dengan
memukul gordang sembilan yang berirama mengentak.
Beberapa lelaki yang semula duduk-duduk di kedai kopi perlahan
ikut bergabung, silih berganti memainkan gordang. Di pinggir arena,
anak-anak kecil bersorak gembira. Tak lama kemudian beberapa ibu dan
gadis tergelitik dengan keramaian. Mereka keluar, menyaksikan kaum
pria yang unjuk kebolehan. Malam itu, lelaki Desa Sibanggor Julu
tengah berlatih gordang sembilan. "Karena susah cari hiburan,
permainan inilah yang menjadi hiburan kami, selain menonton televisi
dan markombur di kedai," kata Hasanuddin Tanjung (42), pemimpin
kelompok kesenian Sibanggor Jalu.
Gordang sembilan dalam sejarahnya tidak bisa dimainkan sembarang
orang. Ada upacara tertentu untuk membuka selubungnya sebelum
dimainkan dalam upacara-upacara adat, seperti kematian ataupun
perkawinan. Sebelum masuknya Islam, alat musik ini juga digunakan
untuk upacara memanggil roh nenek moyang untuk meminta pertolongan.
Seekor kerbau jantan harus disembelih sebelum alat musik itu
dimainkan. Jika tak terpenuhi, gordang sembilan tidak boleh digunakan.
"Zaman sudah berubah, gordang sembilan bisa dimainkan sebagai
hiburan atau pertunjukan dan kami dibayar untuk itu. Sekali
pertunjukan biasanya dibayar Rp 400.000. Kalau tidak ada bayaran,
rasanya berat memainkan gordang sembilan ini," kata Hasanuddin.
Malam menua. Sekitar pukul 22.00, irama gordang sembilan kian
sayup. Unjuk kebolehan malam itu usai sudah. Para gadis kembali ke
dalam rumah, anak-anak pun segera terlelap. Sebagian lelaki kembali
ke kedai kopi dan kembali terlibat dalam obrolan hangat sambil
melihat tayangan televisi yang ditangkap melalui parabola.
Menurut Hasanuddin, gordang sembilan merupakan satu-satunya
warisan masa lalu yang masih tersisa di desa. Itu pun nilai-nilai
sakralnya kian luntur dan yang bisa memainkan kebanyakan sudah
berumur. "Beberapa tahun lagi gordang sembilan mungkin akan punah,
seperti sejumlah tradisi lain yang pernah ada di desa ini," kata
Hasanuddin.
***
HAMPIR semua lelaki di Sibanggor Julu dan Huta Baringin yang kini
tinggal di desa sebenarnya pernah merasakan hidup di
perantauan. "Orang-orang yang tinggal di desa adalah orang-orang yang
kalah di perantauan. Kalau tidak bodoh, ya, orang-orang yang usahanya
di perantauan bangkrut, seperti saya ini. Dari 450 penduduk yang
tinggal di desa ini, hanya seorang yang sarjana dan sekarang jadi
guru agama," kata Rahmad Nasution (38), tokoh masyarakat Huta
Baringin.
Pada tahun 1983, Rahmad yang tamat sekolah menengah pertama ini
merantau ke Bogor, Jawa Barat. Di sana dia mencoba peruntungan dengan
berwiraswasta. Gagal berwiraswasta, dia menjadi sopir truk, buruh
bangunan, dan berbagai pekerjaan kasar lain.
Rahmad akhirnya menyerah. Pada tahun 1998 dia kembali ke Huta
Baringin, tanpa hasil. Di desa dia menikah dan menjadi petani dengan
menggarap sawah warisan orangtuanya seluas seperenam hektar. "Menjadi
petani adalah pilihan terakhir jika semua usaha di perantauan gagal,"
katanya.
Dulu, orang-orang Mandailing merantau ke luar daerah tak semata
masalah uang. Sebagaimana tetangganya, yaitu orang-orang Minang,
merantau menjadi ujian untuk meneguhkan citra diri. Namun, berbeda
dari orang-orang Minang yang harus sukses di perantauan guna
membiayai mamak keponakan di desa, orang-orang Mandailing tidak malu
kembali pulang jika gagal merantau. Dalam pandangan orang Minang,
perantau yang gagal dikecam secara kultural. Di Mandailing perantau
yang gagal bisa diterima dengan ramah. Toh, sawah yang subur masih
menghampar.
Tetapi, itu dulu. Kini, tradisi pulang kampung untuk menjadi
petani jika kalah di kota kian sulit ditemui di Mandailing. "Sebelum
merantau, sejak kecil saya biasa membantu orangtua bertani sehingga
ketika gagal di perantauan tidak kesulitan bertani lagi. Tetapi, anak
muda sekarang sebelum merantau waktunya habis untuk sekolah dan tidak
biasa memegang cangkul. Akhirnya, setelah gagal di perantauan mereka
tak mau jadi petani. Bukan malu yang membuat perantau gagal kembali
ke desa, tetapi mau bekerja apa lagi di sini. Mereka yang sudah
mendapat pendidikan lebih tinggi enggan jadi petani walaupun kota tak
juga menjanjikan," kata Rahmad.
Sekolah justru menjauhkan anak-anak desa dari tradisi dan sumber
daya di desa. "Mungkin, perlu sekolah untuk menjadi petani dalam arti
sebenarnya. Lulusannya menjadi petani dan kembali ke desa agar bisa
membangun kembali sawah-sawah dan ladang. Jangan setelah lulus
sekolah pertanian malah jadi buruh pabrik di kota," kata Rahmad.
(AHMAD ARIF)
tulisan ke-2
KISAH DARI DESA, KISAH TENTANG KEKALAHAN
HAMPARAN sawah menguning bak permadani. Biji kopi yang masak
menyala merah di antara hijau daunan. Aneka sayur dan berbagai
tanaman keras, seperti kayu manis dan karet, tumbuh subur. Air Sungai
Batang Gadis mengalir tak henti-hentinya sepanjang tahun.
BERBEDA dari petani di Jawa yang ketersediaan lahannya sudah
sangat sempit, di lereng Gunung Sorik Merapi, Mandailing Natal,
petani sebenarnya masih memiliki lahan yang cukup. Rata-rata mereka
memiliki seperempat hektar sawah dan 2-4 hektar ladang yang biasa
ditanami kopi, karet, aren, kayu manis, serta berbagai macam buah-
buahan.
Data di Badan Pusat Statistik tahun 2003, angka kepadatan
penduduk di Mandailing Natal hanya sekitar 56 jiwa per km2.
Bandingkan dengan kepadatan penduduk di Jawa yang pada tahun 1999
saja rata-rata sudah di atas 814 jiwa per kilometer persegi.
Namun, kepemilikan dan kesuburan tanah bukanlah aset yang
menjanjikan lagi. Harga jual hasil pertanian yang selalu anjlok saat
panen dan naiknya biaya produksi pertanian adalah lagu lama bagi
petani di lereng Sorik Merapi yang kian nyaring terdengar.
Simaklah kisah Asmara Lubis (42), petani dari Desa Huta Godang,
Kecamatan Ulu Pungkut, Mandailing Natal. Lelaki itu telah bersabar
menunggu 12 tahun sebelum akhirnya memutuskan menebang pohon kayu
manis di ladangnya. Karena merasa hasilnya kurang banyak, dia
menebang satu lagi pohon kayu manis berumur delapan tahun. Butuh
kerja keras selama empat hari untuk menebang, menguliti, dan menjemur
kulit kayu hingga siap dijual. Namun, penjualan dari dua pohon kayu
manis yang berumur delapan dan 12 tahun itu hanya menghasilkan uang
Rp 21.000, sementara harga parang yang ingin dia beli Rp 31.000.
Sejumlah komoditas andalan lain, seperti kopi, kentang, dan
berbagai macam sayur-mayur, juga selalu anjlok harganya saat panen.
Beberapa bulan lalu, Asmara dan kelompok taninya menanam kentang
secara kolektif di lahan seluas sekitar lima hektar dengan bibit
sebanyak 1,5 ton. Harga bibit saat itu mencapai Rp 12.000 per
kilogram (kg). Sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk membeli pupuk
dan obat-obatan mencapai Rp 6 juta. Total biaya yang dibutuhkan
mereka sebanyak Rp 18 juta.
"Hasil panen sebenarnya sangat memuaskan, kualitasnya baik dan
produksinya sekitar 10 ton. Namun, yang jadi masalah kentang kami
hanya dihargai Rp 1.700 per kg. Kami rugi sekitar Rp 1 juta," katanya.
Selain masalah harga, serangan hama dan penyakit terhadap tanaman
juga berkembang pesat, jauh meninggalkan teknologi yang digunakan
petani untuk mengatasinya. Tanaman cabai, yang sebelumnya menjadi
andalan warga sekitar Sorik Merapi, kini juga hancur terserang
penyakit keriting kuning tanpa bisa teratasi. Dan jeruk sibanggor,
yang pernah menjadi penopang ekonomi juga hampir punah karena
terserang berbagai penyakit.
***
KISAH tentang petani Sorik Merapi hanyalah satu kisah desa-desa
kita. Di desa-desa waktu seakan berhenti. Bahkan, sebagian seakan
berjalan mundur, menuju titik mati.
Di Huta Godang, Kecamatan Ulu Pungkut, Mandailing Natal, sisa-
sisa kejayaan masa lalu masih tergambar pada kemegahan rumah-rumah
adat yang dikelilingi hamparan sawah yang luas. Namun, rumah-rumah
dan segala isinya tersebut ditinggalkan pewarisnya yang memilih
menjadi pengusaha di Medan.
Aktivitas ekonomi Negeri Suah, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten
Deli Serdang, sejak puluhan tahun terakhir stagnan. "Dari dulu desa
kami seperti ini. Jumlah warga yang tinggal di sini tidak bertambah,
bahkan jumlah rumah berkurang. Jika dulu 16 rumah, sekarang tinggal
15 rumah. Jalan dari kota ke sini juga makin rusak saja dan membuat
desa kami ini kian jauh dari dunia luar," ujar Nelson Barus (43),
warga setempat.
Walaupun tak "berkembang", untuk kebutuhan makan sehari-hari,
warga Negeri Suah sebenarnya masih berkecukupan karena hampir setiap
keluarga masih memiliki sawah yang panen padinya cukup untuk makan
selama setahun.
Masalah sebenarnya muncul saat orang-orang desa berinteraksi
dengan dunia luar, terutama untuk menyekolahkan anak dan berobat ke
dokter. Kenyataannya, walaupun cukup makan, mereka tidak cukup uang
untuk mengikuti ritme kehidupan modern yang segala sesuatunya harus
dibayar dengan uang.
Bagi masyarakat desa, uang susah didapat. Mereka kaya barang dan
sumber daya alam, tetapi miskin uang. Harga hasil bumi mereka
dihargai sangat murah oleh pembeli. Misalnya, karet yang merupakan
komoditas andalan Negeri Suah hanya dihargai tengkulak kurang dari Rp
4.000 per kg. Padahal, di Medan harga karet Rp 4.800 per kg.
Warga yang sakit harus digotong ke desa tetangga yang berjarak
sekitar setengah jam jalan kaki. Ongkos berobat menjadi sangat mahal
untuk ukuran orang desa.
Pendidikan juga menjadi dilema. Anak-anak yang bersekolah di
sekolah dasar (SD) harus berjalan kaki ke luar desa. Sedangkan,
sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang terdekat
hanya ada di Bandar Baru yang harus ditempuh selama empat jam dengan
sepeda motor atau seharian berjalan kaki.
Beban berat itu misalnya dirasakan keluarga Kardi Barus (58),
warga yang memiliki dua anak. Anak pertamanya sudah berkeluarga dan
tinggal di Medan. Sedangkan anak bungsunya, Serli Novita Barus (16),
masih sekolah di sekolah menengah ekonomi atas di Kabanjahe. Tiap dua
pekan Kardi harus mengirim uang kepada anak bungsunya itu sedikitnya
Rp 200.000. Belum lagi dia harus membayar uang BP3 Rp 400.000 setahun
sekali.
Beban Kardi tambah berat karena cucunya yang masih balita dari
anak pertamanya yang telah bercerai dititipkan padanya. Sedikitnya Rp
200.000 per bulan tandas untuk membeli susu dan biskuit bagi cucunya.
Seluruh kebutuhan keluarganya ditopang dari ladang karet seluas
setengah hektar. Rata-rata, dia bisa mendapatkan 5 kg karet per hari.
Dengan penghasilan maksimal Rp 24.000 per hari atau sekitar Rp
168.000 per minggu, praktis semuanya tersedot untuk membiayai sekolah
anaknya dan membeli susu untuk cucunya.
Sementara itu, kualitas pendidikan di desa sepertinya juga
mustahil menjadi gerbang perubahan strata sosial dan ekonomi.
Berbagai keterbatasan menyebabkan kualitas pendidikan di desa sangat
rendah sehingga lulusannya kesulitan bersaing dengan sekolah-sekolah
unggulan di kota.
Di Dusun Sigoring-goring, Desa Pangirkiran Dolok, Kecamatan
Binanga, Tapsel, misalnya, fasilitas pendidikannya sangat minim. SD
satu-satunya di dusun yang dibangun secara swadaya pada tahun 1982
tersebut hanya memiliki satu ruang kelas sehingga seluruh siswa mulai
dari kelas I hingga kelas VI bercampur dan gurunya hanya seorang.
Hingga kini murid-murid SD di sana harus belajar dengan
menggunakan buku-buku pelajaran kejar paket A, B, dan C terbitan
tahun 1997, yang sebenarnya ditujukan untuk ujian persamaan. "Susah
mengharapkan lulusan SD kami bisa meneruskan ke jenjang lebih tinggi.
Di samping masalah biaya, mereka kesulitan ikut ujian," kata Raja
Dima Siregar, satu-satunya guru di SD itu.
Bagi warga desa yang tidak memiliki keahlian dan pendidikan
formal memadai, interaksi ekonomi dan sosial dengan dunia luar adalah
sebuah eliminasi.
***
ELIMINASI kekuatan luar terhadap warga desa dalam beberapa kasus
lain dilakukan dengan sangat keras. Aset desa diperas, dikuasai, dan
warganya kemudian diusir keluar dari tanah mereka sendiri.
Hal itu misalnya dialami orang-orang Mandailing di Dusun
Sibengggol, Desa Pangirkiran Dolok. Sedikitnya 17 rumah warga Dusun
Sibenggol, Pangirkiran Dolok, dibakar perusahaan perkebunan swasta
nasional. Warga yang rata-rata tak mengerti masalah hukum tersebut
kemudian diusir ke luar dusun dan 650 hektar tanah adat diambil alih
untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Kini warga Sibenggol mengungsi ke dusun-dusun lain di Desa
Pangirkiran. Warga desa sempat melawan dan mengadu ke aparat keamanan
serta instansi pemerintahan. Namun, justru Dusun Sibenggol dan bekas
ladang mereka telah dikelilingi parit oleh perusahaan tersebut. Tak
seorang warga dusun pun yang berani ke sana karena tanah tersebut
dijaga para centeng bersenjata.
Warga Desa Kodon-kodon, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, juga
mengalami nasib serupa. Kalangan pengusaha yang melihat strategisnya
lokasi Gorat Ni Padang, tanah adat milik desa, lalu mengambil alih.
Sang pengusaha yang berhasil menggandeng investor asing bermimpi
untuk membangun lapangan golf, hotel, perkebunan, dan berbagai sarana
wisata lain di sana. Mereka yakin bisa memberi nilai lebih lahan adat
tersebut. Namun, proses ganti rugi bermasalah karena hanya sebagian
warga yang mendapatkan. Dan ladang milik warga justru terkena
longsor, dampak dari pembangunan tersebut.
Saat warga menuntut, mereka kalah. Pembangunan yang proses
perizinannya belum selesai itu pun jalan terus. Sementara itu,
pemerintah daerah merestuinya. Alasannya, investasi asing akan
menaikkan pendapatan daerah dan nantinya akan berdampak bagi
kesejahteraan masyarakat.
Dalam kasus lain, warga juga dimanfaatkan kekuatan dari luar
untuk melakukan perusakan sumber dayanya sendiri, dengan imbalan tak
seberapa. Di Desa Angin Barat, Kecamatan Kota Nopan, Mandailing
Natal, warga desa yang semula menentang keras usaha penebangan hutan
di sekitar desa mereka akhirnya diam ketika mereka dijanjikan tanah
bekas hutan itu akan diserahkan kepada masyarakat.
Namun, saat hutan sudah rusak dijarah dan pengusaha telah pergi,
pemerintah dan aparat keamanan kemudian datang untuk melarang alih
fungsi lahan hutan menjadi perkebunan. Janji-janji penyerahan lahan
itu menjadi semu. Sementara itu, longsor dan banjir kini mengancam
warga desa akibat perusakan hutan.
Desa-desa seperti dikepung kekuatan dari luar yang sangat agresif
dalam memanfaatkan lahan sebagai aset ekonomi semata. Sementara
sumber daya di desa loyo karena putra-putra terbaik mereka memilih
merantau keluar. (AHMAD ARIF)